Pawai “kuda kosong” [2] yang sejak dulu digelar pada setiap upacara kenegaraan Cianjur, punya maksud untuk mengenang sejarah perjuangan para Bupati Cianjur tempo dulu. Saat Cianjur dijabat Bupati R.A. Wira Tanu seorang Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II, bupati diwajibkan menyerahkan upeti hasil palawija kepada Sunan Mataram di Jawa Tengah.
Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II yang dianggap sakti mandragunalah yang rutin ditugaskan untuk menyerahkan upeti tadi. Jenis upeti adalah sebutir beras, lada, dan sebutir cabai. Sambil menyerahkan tiga butir hasil palawija itu, Kangjeng Dalem Pamoyanan selalu menyatakan bahwa rakyat Cianjur miskin hasil pertaniannya. Biar miskin, rakyat Cianjur punya keberanian besar dalam perjuangan bangsa, sama seperti pedasnya rasa cabai dan lada.
Karena pandai diplomasi, Kangjeng Sunan Mataram memberikan hadiah seekor kuda kepada Dalem Pamoyanan. Seekor kuda jantan diberikan untuk sarana angkutan pulang dari Mataram ke Cianjur. Penghargaan besar Sunan Mataram terhadap Kangjeng Dalem Pamoyanan membuat kebanggan tersendiri bagi rahayat Cianjur waktu itu.
Jiwa pemberani rakyat Cianjur seperti yang pernah disampaikan Kanjeng Dalem Pamoyanan kepada Sultan Mataram membuahkan kenyataan. Sekitar 50 tahun setelah peristiwa seba itu, ribuan rakyat Cianjur ramai-ramai mengadakan perlawanan perang gerilya terhadap penjajah Belanda. Dengan kepemimpinan Dalem Cianjur Rd. Alith Prawatasari, barisan perjuang di setiap desa gencar melawan musuh, sampai-sampai Pasukan Belanda sempat ngacir ke Batavia (sekarang Jakarta).
Untuk mengenang perjuangan Kangjeng Dalem Pamoyanan yang pandai diplomasi itu, setiap diadakan upacara kenegaraan di Cianjur selalu digelar upacara kuda kosong.[3] Maksud seni warisan leluhur itu untuk mengenang perjuangan pendahulu kepada masyarakat Cianjur sekarang, hal ini akhirnya menjadi suatu perayaan tradisi tahunan bagi warga Cianjur.
Tak sedikit seni budaya Cianjur hilang dan terancam mati. Seperti seni bangkong reang di Kec. Pagelaran, seni tanjidor di Kec. Cilakongkulon, goong renteng di Kec. Agrabinta, seni rudat di Kec. Kadupandak, dan seni reak di Kec. Cibeber. Bahkan, seni Tembang Cianjuran sebagai warisan budaya ciptaan Kangjeng Raden Aria Adipati Kusumaningrat atau Dalem PancanitiBupati Cianjur (1834-1861) benar-benar hampir terancam kepunahan.
Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Parade_kuda_kosong
No comments:
Post a Comment