Polemik Larangan Mantan Napi Korupsi Nyaleg di Pemilu 2019
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
telah mengabulkan gugatan salah satu mantan narapidana kasus korupsi, M
Taufik, untuk mendaftar calon legislatif pada pemilu 2019.
Alasannya,
ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 20/2018 tentang
larangan mantan napi kasus korupsi mendaftar caleg bertentangan dengan
aturan yang lebih tinggi yakni Undang-undang Pemilu. Aturan itu saat ini
juga digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Agung (MA).
Ketua
KPU Arief Budiman sebelumnya berkukuh aturan yang tertuang dalam PKPU
itu tetap harus dijalankan sepanjang tidak ada perubahan. Namun Bawaslu
menegaskan bahwa semua pihak harus mengikuti aturan sesuai prosedur demi
melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
Apalagi
dalam sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengizinkan mantan
napi kasus korupsi mendaftar caleg sebagai hak tiap warga negara,
dengan catatan mendeklarasikan diri sebagai mantan napi kasus korupsi.
Ahli
hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai
PKPU yang mengatur larangan itu masih berlaku meski Bawaslu telah
mengabulkan gugatan mantan napi kasus korupsi mendaftar caleg. Sebab,
tak ada ketentuan yang dibatalkan oleh Bawaslu terkait gugatan tersebut.
"PKPU
itu belum dibatalkan dan masih berlaku. Jadi tidak ada yang dilanggar
oleh KPU karena pasal yang mengatur larangan itu masih ada," ujar Asep
kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/9).
Menurut Asep, larangan mantan napi kasus
korupsi semestinya diatur dalam UU Pemilu sebagaimana larangan mantan
napi yang melakukan kejahatan seksual pada anak-anak maupun kasus
narkotik.
Hanya saja, kata dia, dalam UU Pemilu saat ini belum merinci secara
jelas aturan tersebut. Wajar saja jika KPU kemudian memperjelas dengan
membuat aturan itu.
"Arah hukum yang dituju sebenarnya juga bukan
orang per orang tapi parpol. Harapannya parpol ini bisa menyeleksi
betul dengan ketat dan memastikan tidak ada mantan napi yang
mencalonkan," katanya.
Gugatan
politikus Gerindra M Taufik untuk jadi caleg meski pernah jadi napi
korupsi dikabulkan Bawaslu. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono
Asep mengatakan, saat ini semua pihak hanya perlu menunggu putusan
dari MA terkait gugatan PKPU. Jika MA sepakat dengan putusan Bawaslu,
maka KPU mau tak mau harus menaatinya karena putusan MA bersifat
mengikat.
"Kalau tidak (dikabulkan) ya jalankan saja aturan PKPU
sekarang. Toh tidak ada yang dilanggar KPU karena pasal yang mengatur
larangan itu masih ada," tuturnya.
Hal senada disampaikan
peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari yang
menilai Bawaslu telah melampaui kewenangan. Sebagai penyelenggara
pemilu, Bawaslu semestinya memiliki kesatuan pandangan dengan KPU.
Feri mengatakan, tugas Bawaslu semestinya memastikan seluruh produk perundang-undangan dilaksanakan, termasuk PKPU.
"Soal
PKPU dianggap bertentangan dengan UU atau tidak itu kewenangan MA. Jadi
untuk sementara PKPU itu tetap sah karena telah diundangkan oleh
Kementerian Hukum dan HAM," katanya.
Selama belum ada putusan dari MA, lanjut Feri, PKPU itu tetap dapat
dijalankan dan tak bertentangan dengan UU Pemilu yang membawahinya.
Menurut Feri, putusan Bawaslu yang meloloskan mantan napi kasus korupsi
mendaftar caleg justru dapat digugat karena dianggap melawan hukum.
"Itu sudah melampaui kewenangan dan dapat digugat," ucap Feri.
Pendapat
berbeda disampaikan ahli hukum tata negara Refly Harun. Menurut Refly,
putusan Bawaslu justru sudah tepat karena mengikuti peraturan
perundang-undangan.
Refly menuding polemik mantan napi kasus
korupsi yang mendaftar caleg justru berawal dari KPU yang 'ngotot'
mengaturnya dalam PKPU. Padahal, menurutnya, hal itu bukan menjadi
kewenangan KPU.
"Tentu kita memang ingin berantas korupsi, tapi harusnya dengan cara yang tidak melanggar pakem hukum yang ada," kata Refly.
Refly Harun dukung keputusan Bawaslu kabulkan gugatan eks napi korupsi nyaleg. (Safir Makki)
Refly menegaskan pembatasan hak dipilih bagi mantan napi kasus
korupsi hanya bisa diatur dalam UU. Sesuai ketentuan hukum, apabila ada
dua aturan yang sama dan saling bertentangan maka berlaku azas lex
superior atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini PKPU berada di
bawah UU Pemilu.
"Mungkin maksudnya baik, tapi caranya keliru.
Jadi tidak heran kalau Bawaslu mengabulkan karena memang bertentangan
dengan UU Pemilu," tuturnya.
Refly mengatakan putusan itu telah
sesuai dengan kewenangan karena Bawaslu merupakan quasi peradilan atau
badan pengadilan administratif semu yang menangani perkara di luar
pengadilan biasa.
Para pejabat Bawaslu itu memiliki peran dan
berstatus sebagai 'hakim'. Oleh karena itu, kata dia, KPU wajib
melaksanakan putusan Bawaslu tersebut.
"Bawaslu kan tidak
membatalkan aturan itu karena bukan kewenangannya. Tapi mengesampingkan
PKPU karena bertentangan dengan UU. Sebagai quasi peradilan ya sah-sah
saja (Bawaslu memutus itu)," terang Refly.
Ia meminta agar PKPU tentang larangan mantan napi kasus korupsi
mendaftar caleg itu segera dicabut. Refly pun menyarankan pada KPU agar
tak lagi membuat aturan yang bertentangan dengan UU.
"Jadi jangan terlalu bersemangat gitu loh. Kita kan punya aturan-aturan," imbuhnya.
Ia
menegaskan bahwa kerugian yang bakal timbul apabila mantan napi kasus
korupsi kembali terpilih, bukan menjadi kewenangan KPU. Menurutnya, hal
terpenting yang harus berjalan saat ini adalah penyelenggaraan pemilu
yang jujur dan adil.
"Urusan korupsi atau tidak itu urusan caleg
yang terpilih. Lagipula yang belum korupsi juga belum tentu tidak
korupsi kan," ucapnya.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180905021138-32-327730/polemik-larangan-mantan-napi-korupsi-nyaleg-di-pemilu-2019
"Arah hukum yang dituju sebenarnya juga bukan orang per orang tapi parpol. Harapannya parpol ini bisa menyeleksi betul dengan ketat dan memastikan tidak ada mantan napi yang mencalonkan," katanya.
Gugatan
politikus Gerindra M Taufik untuk jadi caleg meski pernah jadi napi
korupsi dikabulkan Bawaslu. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono
|
Asep mengatakan, saat ini semua pihak hanya perlu menunggu putusan dari MA terkait gugatan PKPU. Jika MA sepakat dengan putusan Bawaslu, maka KPU mau tak mau harus menaatinya karena putusan MA bersifat mengikat.
"Kalau tidak (dikabulkan) ya jalankan saja aturan PKPU sekarang. Toh tidak ada yang dilanggar KPU karena pasal yang mengatur larangan itu masih ada," tuturnya.
Hal senada disampaikan peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari yang menilai Bawaslu telah melampaui kewenangan. Sebagai penyelenggara pemilu, Bawaslu semestinya memiliki kesatuan pandangan dengan KPU.
Feri mengatakan, tugas Bawaslu semestinya memastikan seluruh produk perundang-undangan dilaksanakan, termasuk PKPU.
"Soal PKPU dianggap bertentangan dengan UU atau tidak itu kewenangan MA. Jadi untuk sementara PKPU itu tetap sah karena telah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM," katanya.
"Itu sudah melampaui kewenangan dan dapat digugat," ucap Feri.
Pendapat berbeda disampaikan ahli hukum tata negara Refly Harun. Menurut Refly, putusan Bawaslu justru sudah tepat karena mengikuti peraturan perundang-undangan.
Refly menuding polemik mantan napi kasus korupsi yang mendaftar caleg justru berawal dari KPU yang 'ngotot' mengaturnya dalam PKPU. Padahal, menurutnya, hal itu bukan menjadi kewenangan KPU.
"Tentu kita memang ingin berantas korupsi, tapi harusnya dengan cara yang tidak melanggar pakem hukum yang ada," kata Refly.
Refly Harun dukung keputusan Bawaslu kabulkan gugatan eks napi korupsi nyaleg. (Safir Makki)
|
Refly menegaskan pembatasan hak dipilih bagi mantan napi kasus korupsi hanya bisa diatur dalam UU. Sesuai ketentuan hukum, apabila ada dua aturan yang sama dan saling bertentangan maka berlaku azas lex superior atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini PKPU berada di bawah UU Pemilu.
"Mungkin maksudnya baik, tapi caranya keliru. Jadi tidak heran kalau Bawaslu mengabulkan karena memang bertentangan dengan UU Pemilu," tuturnya.
Refly mengatakan putusan itu telah sesuai dengan kewenangan karena Bawaslu merupakan quasi peradilan atau badan pengadilan administratif semu yang menangani perkara di luar pengadilan biasa.
Para pejabat Bawaslu itu memiliki peran dan berstatus sebagai 'hakim'. Oleh karena itu, kata dia, KPU wajib melaksanakan putusan Bawaslu tersebut.
"Bawaslu kan tidak membatalkan aturan itu karena bukan kewenangannya. Tapi mengesampingkan PKPU karena bertentangan dengan UU. Sebagai quasi peradilan ya sah-sah saja (Bawaslu memutus itu)," terang Refly.
"Jadi jangan terlalu bersemangat gitu loh. Kita kan punya aturan-aturan," imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa kerugian yang bakal timbul apabila mantan napi kasus korupsi kembali terpilih, bukan menjadi kewenangan KPU. Menurutnya, hal terpenting yang harus berjalan saat ini adalah penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
"Urusan korupsi atau tidak itu urusan caleg yang terpilih. Lagipula yang belum korupsi juga belum tentu tidak korupsi kan," ucapnya.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180905021138-32-327730/polemik-larangan-mantan-napi-korupsi-nyaleg-di-pemilu-2019
|
No comments:
Post a Comment