Tuesday, October 16, 2018

Kisah Relawan Palu: Saya Tidak Punya Alat, Hanya Suara

Kisah Relawan Palu: Saya Tidak Punya Alat, Hanya Suara 


Jakarta -
Berbekal palu kecil dan korek api untuk menerangi jalan dan gerakannya di malam hari, Talib berjalan di antara reruntuhan. Sesekali dia berteriak. Kemudian terdiam sejenak. Mendengarkan.
Jika hening, dia akan lanjut berjalan.
Namun, saat ada suara, betapapun lirih, semangatnya bangkit. Wajahnya akan berseri, dan dia akan kembali berteriak lantang.
"Sabar pak, sabar, bantuan sudah di depan. Bertahan pak, bertahan," serunya berulang-ulang. 

Talib adalah salah satu relawan yang bekerja tak kenal lelah membantu evakuasi korban, usai gempa dan tsunami melanda Sulawesi Tengah, akhir September lalu.
"Saat gempa guncang Palu, saya posisi di dekat laut, di pinggir pantai. Saya sempat pulang ke rumah dan pastikan istri dan anak saya selamat, setelah itu saya berangkat untuk bantu evakuasi," paparnya.
"Malam itu, saya bertemu dua relawan lain, jadi kami bekerja bertiga."
Mengikuti suara
Korban yang ia temukan selamat di pinggir pantai ia segera antar ke rumah sakit. Kemudian langsung saja Talib memfokuskan diri pada upaya evakuasi di Hotel Roa-Roa, Palu. Bangunan delapan lantai tersebut ambruk saat diguncang gempa berkekuatan 7,4 skala Richter yang disusul gelombang tsunami.
Jumlah tamu yang menginap di hotel tersebut setidaknya 160 orang yang sebagian besar adalah atlet paralayang, peserta Kejuaraan Paralayang Terbuka Indonesia. Mereka berasal dari berbagai daerah, ada pula yang datang dari luar negeri.
Dari sekian banyak, hanya segelintir yang berhasil menyelamatkan diri. Sisanya, sekitar 50 hingga 60 orang terjebak dalam timbunan reruntuhan. Dari waktu ke waktu mereka ditemukan, sebagian dalam keadaan hidup, sebagian sudah tak tertolong.
Sekali waktu, katanya, "Saya mendengar suara 'tolong, tolong', tapi tidak bisa pastikan di mana karena tertimpa bangunan," kata Talib.
"Kita tanya 'kamar berapa pak'? Tapi sebenarnya kita juga tidak tahu di mana kamarnya," lanjutnya.
Waktu itu, hari sudah gelap. Listrik padam karena jaringan PLN terputus. Tidak ada penerangan.
"Kami hanya mengikuti suara. Kondisi gelap. Penerangan hanya korek (gas) yang ada senternya. Hanya itu yang ada," cerita Talib.
Malam itu, Talib tidak bisa berbuat banyak.
"Saya hanya berbekal senter dengan besi sepotong," ujarnya. "Saya coba gali-gali untuk memperjelas suara."
Meskipun berbekal tangan kosong, Talib menawarkan suaranya sebagai alat penyelamat.
"Saya katakan pada mereka, bantuan sudah di depan. Saya beri motivasi agar mereka bertahan," kata Talib, mengisahkan kembali upayanya menolong para korban kepada wartawan BBC News Indonesia, Oki Budhi.
Dia tidak mau menyerah. Dia terus memberikan motivasi agar korban terus bertahan.
"Jika mereka masih bertahan di dalam, itu jadi semangat saya," imbuh Talib.
Semangat yang jadi penyelamat
Keteguhan dan kegigihan Talib mencari korban selamat di antara puing-puing berbuah manis. Tim relawan berhasil mengevakuasi beberapa korban dengan selamat, salah satunya Fitri Leonika, yang ditemukan terjepit di lantai dua hotel tempatnya menginap. Dia ditemukan di hari ketiga usai gempa.
Fitri merupakan korban ketujuh yang berhasil dievakuasi dengan selamat.
Talib pun terus berusaha memompa semangat para korban yang masih belum bisa dievakuasi karena keterbatasan alat.

"Saya hanya punya tangan dua, tidak punya alat (berat). Hanya punya palu dan pemutus kabel kecil. Tapi saya punya semangat untuk membuat mereka terus bertahan, hingga pertolongan datang," sebut Talib.
"Bertahan, di depan sudah ada alat kerja. Keluarga ibu menunggu di rumah. Cuma itu yang terus saya sampaikan," kisah Talib.
Terus berbicara dan memotivasi adalah cara Talib menolong para korban.
"Tiap bangunan yang saya bisa masuki, saya datangi, saya teriakkan semangat agar mereka terus bertahan," papar pekerja serabutan tersebut.
Talib menceritakan, awalnya dia mendengar sembilan titik suara yang mengindikasikan korban selamat. Namun semakin lama, suara tersebut semakin lemah.
"Ada Pak Franky, Pak Agus Eko, Ibu Petra dan Ibu Fifi yang saya dengar suaranya. Setiap hari saya kunjungi lokasi mereka, walau suaranya sudah tidak lagi terdengar."
"Hari kedua tinggal tiga titik suara yang saya dengar," sebutnya. "Hari ketiga tinggal dua, salah satunya ibu Fitri."
Sebelum bantuan alat berat datang, Talib menggunakan kayu untuk menyusupkan makanan kepada para korban, melalui sela-sela puing.
"Karena kondisi bangunan dan saya tidak punya alat, kami dorong makanan pakai kayu. Alhamdulillah mereka bisa selamat," ujar koordinator komunitas seni kaum muda tersebut.
Di sisi lain, dia sadar, upayanya menerobos bangunan yang rubuh sebenarnya berbahaya. Namun dia tetap bertekad mencari korban selamat.
"Saya tahu risikonya. Jika tertimpa (bangunan), saya bisa mati," ujarnya. "Jika sudah waktunya, ya sudah," tambahnya.
Pencarian dihentikan
Hari ketiga usai gempa bantuan alat berat mulai berdatangan. Satu unit ekskavator dan satu unit traktor mulai bekerja membongkar reruntuhan di hotel.
Proses pencarian pun semakin intensif. Empat alat berat terus bekerja menyingkirkan puing-puing demi memudahkan evakuasi.
Namun, setelah 10 hari, pada Minggu (07/10) Basarnas resmi menghentikan proses evakuasi di Hotel Roa-Roa. Hal ini dilakukan karena sudah tidak ada lagi tanda-tanda korban di bawah runtuhan bangunan.
Tercatat 34 korban berhasil dievakuasi dari reruntuhan hotel tersebut. Dari 34 korban, 27 ditemukan meninggal sementara tujuh lainnya selamat.
Dan Talib adalah salah satu faktor penting yang membuat tujuh orang itu selamat. 

Sumber : https://m.detik.com/news/bbc-world/d-4251910/kisah-relawan-palu-saya-tidak-punya-alat-hanya-suara 


No comments:

Post a Comment

Sembilan Peristiwa Bersejarah yang Terjadi di Bulan Rajab

Sembilan Peristiwa Bersejarah yang Terjadi di Bulan Rajab Selain Isra’ dan Mi’raj masih banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Ra...